ISTANA
KEPRESIDENAN
REPUBLIK INDONESIA
- Istana Kepresidenan
Jakarta
- Istana Kepresidenan Bogor
- Istana Kepresidenan
Cipanas
- Istana Kepresidenan
Yogyakarta
- Istana Kepresidenan
Tampaksiring
Istana adalah tempat resmi kediaman dan
kantor Presiden, yang terdapat di lima daerah yaitu Istana Negara dan Istana Merdeka yang
masing-masing terletak di Jakarta, Istana Kepresidenan Bogor, Istana Kepresidenan Cipanas,
Istana Kepresidenan Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Tampaksiring Bali.
I. Istana Kepresidenan
Jakarta
Komplek Istana Jakarta, yang luasnya
6,8 hektar, terletak diantara Jalan Merdeka Barat dan Jalan Veteran, dekat Taman Monumen
Nasional. Di Istana Jakarta ini terdapat 2 (dua) bangunan Istana yaitu Istana Merdeka yang
menghadap ke Taman Monumen Nasional dan Istana Negara yang menghadap ke Sungai Ciliwung
Jalan Veteran.
1. Istana
Negara
Pada awalnya di komplek Istana Jakarta ini
hanya terdapat satu bangunan yaitu Istana Negara. Bangunan ini semula adalah milik
pengusaha Belanda J A Van Braam, mulai dibangun pada 1796 (pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Pieter Gerardus Van Overstraten) selesai 1804 (pada masa pemerintahan Gubernur
Jenderal Johanes Sieberg). Pada 1816 bangunan ini diambil alih oleh Pemerintah Hindia
Belanda dan selanjutnya digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan serta tempat tinggal
para Gubernur Jenderal Belanda.
Beberapa peristiwa penting semasa
Pemerintahan Belanda terjadi di Istana Negara yang menjadi saksi ketika sistem tanam paksa
atau Cultuur Stelsel ditetapkan Gubernur Jenderal Johanes Van de Bosch, penandatanganan
naskah persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947 dimana pihak Indonesia diwakili oleh
Sutan Syahrir dan pihak Belanda diwakili oleh Van Mook.
Pada mulanya bangunan yang berarsitektur gaya
Yunani Kuno ini bertingkat dua yang kemudian pada 1848 bagian atasnya dibongkar; bagian
depan lantai bawah dibuat lebih besar untuk memberi kesan lebih resmi. Bentuk bangunan
hasil perubahan 1848 inilah yang bertahan sampai sekarang, tanpa perubahan yang berarti.
Luas bangunan ini + 3.375 m2.
Sebagai pusat kegiatan pemerintahan negara,
saat ini Istana Negara menjadi tempat penyelenggaraan acara-acara yang bersifat kenegaraan
antara lain pelantikan pejabat-pejabat tinggi negara, pembukaan musyawarah dan rapat kerja
nasional, kongres bersifat nasional dan internasional, jamuan kenegaraan dan lain-lain.
(kembali ke atas)
2.
Istana Merdeka
Pada 1873, yakni pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Johan Willem van Landsbarg, dibangun sebuah bangunan yang waktu itu
dikenal dengan nama Istana Gambir yang arsiteknya adalah Drossares. Pada masa awal
pemerintahan Republik Indonesia, Istana ini menjadi saksi sejarah penandatanganan naskah
pengakuan kedaulatan Republik Indonesia Serikat oleh Pemerintah Belanda pada 27 Desember
1949, Republik Indonesia Serikat diwakili oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX, sedangkan
kerajaan Belanda diwakili oleh A H J Lovinnk, wakil tinggi mahkota Belanda di Indonesia.
Pada saat itu sang merah putih dikibarkan menggantikan bendera Belanda, bersamaan dengan
dinyanyikannya lagu Indonesia Raya. Sejak saat itu Istana Gambir dinamakan Istana Merdeka.
Sehari setelah pengakuan kedaulatan oleh
kerajaan Belanda, pada 28 Desember 1949, Presiden Soekarno beserta keluarganya tiba dari
Yogyakarta dan untuk pertamakalinya mendiami Istana Merdeka. Peringatan Hari Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus di Istana Merdeka pertamakali diadakan pada 1950.
Sejak masa pemerintahan Belanda dan Jepang
sampai masa pemerintahan Republik Indonesia, sudah + 20 orang kepala pemerintahan
dan kepala negara yang menggunakan Istana Merdeka sebagai kediaman resmi dan pusat
kegiatan pemerintahan negara.
Sebagai pusat pemerintahan negara, kini
Istana Merdeka digunakan untuk penyelenggaraan acara-acara kenegaraan antara lain
Peringatan Detik-detik Proklamasi, upacara penyambutan tamu negara, penyerahan surat-surat
kepercayaan duta besar negara sahabat, pelantikan perwira muda (TNI dan POLRI) dan
lain-lain.
Luas bangunan Istana Merdeka + 2.400 m2
yang terdiri dari serambi depan Ruang Kredential, Ruang Tamu/Ruang Jamuan, Ruang Resepsi,
Ruang Bendera Pusaka dan Teks Proklamasi, Ruang Kerja Presiden, Ruang Tidur, Ruang
Keluarga/istirahat dan Pantry.
Selain Istana Negara dan Istana Merdeka, di
komplek Istana Jakarta terdapat juga Wisma Negara tempat menginap Tamu Negara, Museum Puri
Bhakti Renatama sebagai tempat penyimpanan benda sejarah dan Sanggar Lukisan sebagai
tempat penyimpanan dan pameran lukisan koleksi Istana Presiden RI serta kantor Rumah
Tangga Kepresidenan.
(kembali ke atas)
II. Istana
Kepresidenan Bogor
Istana Bogor terletak di pusat kota Bogor,
Jawa Barat, lebih kurang 60 km dari Jakarta. Komplek istana ini terletak di atas tanah
seluas sekitar 28 hektar, yang ditumbuhi oleh kira-kira 100 buah pohon besar. Di halaman
rumput yang membentang luas hidup bebas ratusan ekor rusa.
Pada 10 Agustus 1744, Gubernur Jendral G W
Baron van Imhoff mengadakan inspeksi ke daerah Cianjur, Jawa Barat, yang kemudian
menemukan tempat yang dianggap strategis dan cocok untuk beristirahat yaitu di daerah
Bogor.
Pada 1745, Gubernur Jenderal tersebut
memerintahkan untuk membangun sebuah gedung pesanggrahan dengan arsiteknya meniru bangunan
gedung Bleinheim Palace, kediaman Duke of Malborough, dekat Oxford di Inggris, dan
bangunan ini diberi nama Buitenzorg, yang artinya "bebas masalah/kesulitan".
Pada 1750-1754 pesanggrahan ini mengalami
kerusakan akibat serangan pasukan yang dipimpin oleh Kiai Tapa dan Ratu Bagus Buang yang
kemudian diadakan perbaikan dengan tetap mempertahankan bentuknya pada masa Gubernur
Jenderal Jacob Mossel.
Pada 1808-1811 Gubernur Jenderal Willem
Daendels menambah gedung di sebelah kiri dan kanan gedung induk, sedangkan gedung induk
dijadikan dua tingkat. Untuk menghias halaman yang luas itu, didatangkan dan dipelihara
enam pasang rusa yang berasal dari perbatasan India dan Nepal. Pada masa pemerintahan
Gubernur Jenderal Baron van der Capellen (1817-1826) terjadi penambahan bangunan yaitu
dibangunnya sebuah menara di tengah-tengah gedung induk. Pada 10 Oktober 1834 terjadi
gempa bumi yang mengakibatkan bangunan ini rusak berat. Pada 1850, pada masa Gubernur
Jenderal Duy Mayer van Twist, bangunan lama dirubuhkan dan dibuat bangunan baru satu
tingkat dengan gaya bangunan Eropa abad kesembilan belas. Selain itu diadakan penambahan
dengan dibangunnya dua buah jembatan penghubung antara gedung induk dan gedung sayap kanan
serta sayap kiri, namun pada perkembangannya jembatan penghubung ini dirubah menjadi
koridor. Bangunan tersebut sempurna pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Pahud de
Montanger (1856-1861). Pada 1870 Istana Buitenzorg ditetapkan sebagai kediaman resmi para
Gubernur Jenderal Belanda. Gubernur Jenderal Tjarda van Starkenborgh-Stachower adalah
orang terakhir yang menggunakan Istana Buitenzorgh, yang kemudian menyerahkannya kepada
pemerintah pendudukan Jepang yang kemudian dikalahkan oleh tentara sekutu pada akhir
Perang Dunia II.
Dengan adanya pernyataan kemerdekaan RI,
kira-kira 200 pemuda Indonesia yang tergabung dalam Barisan Keamanan Rakyat menduduki
Istana Buitenzorg dan mengibarkan bendera merah putih yang kemudian dipaksa meninggalkan
istana tersebut oleh tentara Gurkha. Pada akhir 1949 istana Buitenzorg yang kemudian
disebut Istana Bogor diserahkan Belanda kepada Pemerintah Republik Indonesia.
Pemerintah Indonesia mulai memakai Istana
Bogor pada Januari 1950. Pada 1952 di bagian depan induk ditambahkan bangunan tambahan
yang ditopang oleh sepuluh pilar bergaya Ionia, menyatu dengan serambi muka yang ditopang
oleh pilar berjumlah enam yang bergaya sama. Anak tangga yang semula berbentuk setengah
lingkaran diubah bentuknya menjadi lurus.
Istana Bogor adalah sebagai kantor dan
kediaman resmi Presiden. Beberapa peristiwa penting dan bersejarah yang pernah terjadi di
Istana ini antara lain Konferensi Lima Negara pada 28-29 Desember 1954, pembahasan masalah
konflik Kamboja yang dikenal dengan JIM pada 25-30 Juli 1988 dan pertemuan APEC pada 15
November 1994 serta peristiwa yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia adalah
penandatanganan Surat Perintah 11 Maret 1966.
Bangunan utama Istana Bogor disebut Gedung
Induk, didalamnya terdapat Ruang Teratai, Ruang Garuda, Ruang Film, Ruang Perak, Ruang
Kerja, Ruang Makan, Pantri dan beberapa ruang tidur serta ruang induk melengkapi baik
disayap kanan dan kiri.
Kecuali bangunan utama terdapat pula bangunan
perkantoran, polikklinik, pergudangan, pos jaga, ruang serba guna, museum dan beberapa
paviliun.
Di samping mengelola Istana tersebut, Kepala
Istana Bogor berkewajiban pula merawat tempat peristirahatan Pesanggrahan Tenjoresmi di
tepi laut Selatan, 110 kilometer dari kota Bogor yang terletak didesa Pelabuhan Ratu.
(kembali ke atas)
III. Istana
Kepresidenan Cipanas
Istana Cipanas terletak di kaki Gunung Gede,
Jawa Barat, lebih kurang 103 km dari Jakarta ke arah Bandung melalui Puncak. Istana ini
terletak di Desa Cipanas, Kecamatan Pacet, Kabupaten Cianjur. Luas areal kompleks istana
ini lebih kurang 26 hektar, namun sampai saat ini hanya 7.760 m2 yang digunakan
untuk bangunan. Selebihnya dipenuhi dengan tanaman dan kebun tanaman hias yang asri, kebun
sayur, tanaman keras yang ditata sebagai hutan kecil.
Cipanas berasal dari bahasa Sunda, yaitu ci
atau cai yang berarti "air" dan panas yang berarti "panas". Daerah ini
dinamakan Cipanas karena di tempat ini terdapat sumber air panas, yang mengandung
belerang, dan yang kebetulan berada di dalam kompleks istana Cipanas.
Bangunan induk istana ini semula milik
pribadi seorang tuan tanah Belanda yang dibangun pada 1740. Sejak masa pemerintahan
Gubernur Jenderal G W Baron van Imhoff, bangunan ini dijadikan sebagai tempat peristirahan
pada Gubernur Jenderal Belanda.
Beberapa bangunan yang terdapat di dalam
kompleks ini antara lain Paviliun Yudistira, Paviliun Bima dan Paviliun Arjuna yang
dibangun secara bertahap pada 1916. Di bagian belakang agak ke utara terdapat Gedung
Bentol, yang dibangun pada 1954 sedangkan dua bangunan terbaru yang dibangun pada 1983
adalah Paviliun Nakula dan Paviliun Sadewa.
Peristiwa penting yang terjadi di istana ini
setelah kemerdekaan adalah berlangsungnya sidang kabinet yang dipimpin oleh Presiden
Soekarno pada 13 Desember 1965, yang menetapkan perubahan nilai uang dari Rp 1.000,-
menjadi Rp 1,-.
Pada masa pendudukan Jepang, gedung ini hanya
digunakan sebagai tempat persinggahan pembesar-pembesar Jepang dalam perjalanan mereka
dari Jakarta ke Bandung atau sebaliknya.
Gedung ini ditetapkan sebagai Istana
Kepresidenan dan digunakan sebagai tempat peristirahatan bagi Presiden atau Wakil Presiden
beserta keluarga setelah kemerdekaan.
(kembali ke atas)
IV. Istana
Kepresidenan Yogyakarta
Istana Yogyakarta yang dikenal dengan nama
Gedung Agung terletak di pusat keramaian kota, tepatnya di ujung selatan Jalan Akhmad Yani
dahulu dikenal Jalan Malioboro, jantung ibu kota Daerah Istimewa Yogyakarta. Kawasan
istana terletak di Kelurahan Ngupasan, Kecamatan Gondomanan, Kotamadya Yogyakarta, dan
berada pada ketinggian 120 meter dari permukaan laut. Kompleks istana ini menempati lahan
seluas 43,585 m2.
Gedung utama kompleks istana ini mulai
dibangun pada Mei 1824 yang diprakarsai oleh Anthony Hendriks Smissaerat, Residen
Yogyakarta ke-18 (1823-1825) yang menghendaki adanya "istana" yang berwibawa
bagi residen-residen Belanda sedangkan arsiteknya adalah A Payen.
Karena adanya Perang Diponegoro atau Perang
Jawa (1825-1830) pembangunan gedung itu tertunda. Pembangunan tersebut diteruskan setelah
perang tersebut berakhir yang selesai pada 1832. Pada 10 Juni 1867, kediaman resmi residen
Belanda itu ambruk karena gempa bumi. Bangunan baru pun didirikan dan selesai pada 1869.
Bangunan inilah yang menjadi gedung utama komplek Istana Kepresidenan Yogyakarta yang
sekarang disebut juga Gedung Negara.
Pada 19 Desember 1927, status administratif
wilayah Yogyakarta sebagai karesidenan ditingkatkan menjadi provinsi dimana Gubernur
menjadi penguasa tertinggi. Dengan demikian gedung utama menjadi kediaman para gubernur
Belanda di Yogyakarta sampai masuknya Jepang.
Pada 6 Januari 1946, Kota Gudeg ini menjadi
ibu kota baru Republik Indonesia yang masih muda dan istana itu berubah menjadi Istana
Kepresidenan, tempat tinggal Presiden Soekarno beserta keluarganya, sedangkan Wakil
Presiden Mohammad Hatta tinggal di gedung yang sekarang ditempati Korem 072/Pamungkas.
Sejak itu Istana Kepresidenan Yogyakarta menjadi saksi peristiwa penting diantaranya
pelantikan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar TNI pada 3 Juni 1947 dan sebagai pucuk
pimpinan angkatan perang Republik Indonesia pada 3 Juli 1947.
Pada 19 Desember 1948, Yogyakarta diserang
oleh tentara Belanda dibawah pimpinan Jenderal Spoor, Presiden, Wakil Presiden dan para
pembesar lainnya diasingkan ke luar Jawa dan baru kembali ke Istana Yogyakarta pada 6 Juli
1949. Sejak 28 Desember 1949, yaitu dengan berpindahnya Presiden ke Jakarta, istana ini
tidak lagi menjadi tempat tinggal sehari-hari Presiden.
Istana Yogyakarta atau Gedung Agung, sama
halnya dengan istana Kepresidenan lainnya yaitu sebagai kantor dan kediaman resmi Presiden
Republik Indonesia. Selain itu juga sebagai tempat menerima atau menginap tamu-tamu
negara. Sejak 17 Agustus 1991, istana ini digunakan sebagai tempat memperingati
Detik-detik Proklamasi Kemerdekaan untuk Daerah Istimewa Yogyakarta dan penyelenggaraan
Parade Senja setiap tanggal 17 yang dimulai 17 April 1988.
Istana Yogyakarta terdiri atas enam bangunan
utama yaitu Gedung Agung (gedung utama), Wisma Negara, Wisma Indraphrasta, Wisma
Sawojajar, Wisma Bumiretawu dan Wisma Saptapratala. Gedung utama yang selesai dibangun
pada 1869 sampai sekarang bentuknya tidak mengalami perubahan. Ruangan utama yang disebut
dengan Ruang Garuda berfungsi sebagai ruangan resmi untuk menyambut tamu negara atau tamu
agung yang lain. Selain wisma-wisma tersebut sejak 20 September 1995 komplek Seni Sono
seluas 5.600 meter persegi, yang terletak di sebelah selatan, yang semula milik Departemen
Penerangan, menjadi bagian Istana Kepresidenan ini.
Di depan gedung utama, di halaman istana, ada
sebuah monumen batu andesit setinggi 3,5 meter yang disebut Dagoba, yang berasal dari Desa
Cupuwulatu, di dekat Candi Prambanan.
(kembali ke atas)
V. Istana
Kepresidenan Tampaksiring
Istana ini merupakan istana yang dibangun
setelah Indonesia merdeka, yang terletak di Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring,
Kabupaten Gianyar.
Nama Tampaksiring berasal dari dua buah kata
bahasa Bali, yaitu tampak dan siring, yang masing-masing bermakna telapak dan miring.
Konon, menurut sebuah legenda yang terekam pada daun lontar Usana Bali, nama itu berasal
dari bekas tapak kaki seorang raja yang bernama Mayadenawa. Raja ini pandai dan sakti,
namun sayangnya ia bersifat angkara murka. Ia menganggap dirinya dewa serta menyuruh
rakyatnya menyembahnya. Akibat dari tabiat Mayadenawa itu, Batara Indra marah dan
mengirimkan bala tentaranya. Mayadenawa pun lari masuk hutan. Agar para pengejarnya
kehilangan jejak, ia berjalan dengan memiringkan telapak kakinya. Dengan begitu ia
berharap para pengejarnya tidak mengenali jejak telapak kakinya.
Namun demikian, ia dapat juga tertangkap oleh
para pengejarnya. Sebelumnya, ia dengan sisa kesaktiannya berhasil menciptakan mata air
yang beracun yang menyebabkan banyak kematian para pengejarnya setelah mereka meminum air
dari mata air tersebut. Batara Indra kemudian menciptakan mata air yang lain sebagai
penawar air beracun itu yang kemudian bernama Tirta Empul ("air suci"). Kawasan
hutan yang dilalui Raja Mayadenawa dengan berjalan sambil memiringkan telapak kakinya itu
terkenal dengan nama Tampaksiring.
Istana ini berdiri atas prakarsa almarhum
Presiden Soekarno yang menginginkan adanya tempat peristirahatan yang hawanya sejuk jauh
dari keramaian kota, cocok bagi Presiden Republik Indonesia beserta keluarga maupun bagi
tamu-tamu negara.
Arsiteknya adalah R.M. Soedarsono dan istana
ini dibangun secara bertahap. Komplek Istana Tampaksiring terdiri atas empat gedung utama
yaitu Wisma Merdeka seluas 1.200 m dan Wisma Bima seluas 2.000 m dan Ruang Serbaguna.
Wisma Merdeka dan Wisma Yudhistira adalah bangunan yang pertama kali dibangun yaitu pada
tahun 1957. Pada 1963 semua pembangunan selesai yaitu dengan berdirinya Wisma Negara dan
Wisma Bima.
Istana-istana yang tersebut di atas adalah
milik negara dan milik seluruh Bangsa Indonesia. Oleh karena itu, kita harus memelihara
dan manfaatkan sebaik-baiknya bagi kepentingan negara dan masyarakat.
Adalah menjadi kebijaksanaan pemerintah untuk
mengusahakan pemanfaatan Istana-istana tersebut, selain untuk acara-acara resmi kenegaraan
dan pemerintahan, juga untuk dapat dikunjungi oleh masyarakat sebagai obyek pariwisata
yang bersifat edukatif.
Sebelum mengunjungi Istana-istana tersebut,
terlebih dahulu mengajukan permohonan ijin dalam bentuk surat yang ditujukan kepada Kepala
Rumah Tangga Kepresidenan. Surat permohonan ijin berkunjung ke Istana-istana tersebut
harus melampirkan daftar nama orang yang akan berkunjung. Apabila maksud dan tujuan si
pemohon bersifat non edukatif seperti pembuatan klip musik, video, film atau hanya untuk
berdiskusi, tentunya hal ini tidak akan diijinkan karena hal ini akan merusak citra dari
nilai sejarah yang terkandung dalam bangunan tersebut.
Persyaratan yang harus ditaati apabila
berkunjung ke Istaana adalah:
- Pakaian sopan dan rapi, bagi wanita tidak diperkenankan
memakai celana panjang/pendek (jeans dan kaos);
- Tidak diperkenankan membawa anak dibawah umur 12 (dua belas)
tahun;
- Tidak diperkenankan memotret patung, lukisan dan obyek seni
lainnya dari jarak dekat/langsung;
- Tidak diperkenankan memakai sandal dan membawa tas.
(kembali ke atas) |