The Wayback Machine - https://web.archive.org/web/20100828021307/http://www.suaramerdeka.com:80/harian/0305/27/dar4.htm
logo SUARA MERDEKA
Line
  Selasa, 27 Mei 2003 Jawa Tengah - Kedu & DIY  
Line

50 Tahun Pertapaan St Maria

Semula Berdiri di Atas Puing Bekas Sekolahan

TANGGAL 29 Mei 2003 menjadi hari bersejarah bagi Pertapaan St Maria di Desa Rowoseneng, Kecamatan Kandangan, Temanggung. Sebab, pada hari itu akan digelar peringatan 50 tahun berdirinya pertapaan tersebut. Acara dirancang lebih meriah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Untuk menjangkau pertapaan tersebut tidak sulit. Jaraknya hanya lebih kurang 14 km arah utara Kota Temanggung dan jalannya sudah beraspal. Letaknya di tepi hutan, sehingga menjadikan kawasan pertapan itu terasa sejuk dan nyaman.

Romo Sebastian selaku humas mengemukakan, peringatan kali ini akan diisi dengan berbagai acara yang diawali dengan Ekaristi untuk lingkungan pejabat gerejani serta para donatur pertapaan, 29 Mei. Acara itu akan dihadiri Uskup Agung Semarang Mgr Suharyo Pr serta beberapa pimpinan Biara Pertapaan di Belanda dan Jepang.

Kegiatan dilanjutkan pada 18 Juni dengan acara resepsi yang melibatkan unsur pemerintahan dan warga. Bupati Temanggung H Sardjono beserta Ketua DPRD M Bambang Sukarno diharapkan dapat mengikutinya.

"Selain Ekaristi dan resepsi, kami juga mengadakan kegiatan sosial dan olahraga. Kegiatan kali ini kami persiapkan sedemikian rupa sehingga bisa lebih berkesan dibandingkan (dari) tahun-tahun sebelumnya," ungkap Sebastian ketika ditemui Suara Merdeka di kantornya, kemarin.

Puing Sekolah

Pertapaan St Maria berdiri ketika sebuah sekolah pertanian asuhan para bruder Budi Mulia di Desa Rowoseneng rusak akibat clash fisik pada 1948. Gedung sekolah berikut asrama, biara, dan bangunan gereja dibumihanguskan hingga tinggal tersisa puing-puingnya.

Puing-puing sekolah itu kemudian dimanfaatkan oleh Pater Bavo van der Ham, rahib trapis Belanda yang datang ke Indonesia pada 1950 sebagai tempat pertapaan. Tiga tahun perbaikan, kemudian di tempat itu resmi berdiri Cintercienis Santa Maria Rowoseneng pada 1 April 1953 sebagai cabang dari pertapaan induk di Tilburg, Belanda.

Sedikit demi sedikit berdatangan pemuda yang ingin bergabung di sana, sehingga pada 26 Desember 1958 Pertapan Rowoseneng diangkat menjadi biara otonom dengan status Keprioran. Pada 23 April 1978, statusnya maju setapak menjadi Keabasan dengan Romo Frans Harjawiyata sebagai Abas pertama.

Dengan status itu, Rowoseneng merupakan satu-satunya biara trapis pria di Indonesia. Pada awal 1996, terdapat 47 rahib di sana. Biara trapis wanita dibuka secara resmi pada awal 1987 di Gedono yang beranggotakan 27 orang.

Pertapaan St Maria kini memiliki dua sektor usaha, yakni peternakan sapi dan perkebunan kopi dengan luas areal 178 hektare. Dari lokasi seluas itu, 25 hektare untuk kompleks biara dan lokasi peternakan, sedangkan 153 hektare sisanya untuk perkebunan kopi.

Ternak yang dikembangkan di sana adalah sapi dan babi. Penghasilan utama dari sektor peternakan berupa susu segar dengan produksi lebih kurang 600 liter/hari.

" Khusus untuk susu, kami sudah memiliki pasar tetap di beberapa kota seperti Temanggung, Semarang, Magelang, Wonosobo dan sekitarnya. Untuk menjalankan peternakan dan perkebunan ini, kami dibantu 120 karyawan tetap," jelas Sebastian.

Dia mengungkapkan, Peringatan 50 Tahun semestinya jatuh pada 1 April 2003, karena pertapaan tersebut didirikan pada 1 April 1953. Dengan berbagai pertimbangan, kemudian peringatan Tahun Emas diputuskan dilaksanakan pada 29 Mei dan 19 Juni mendatang. (Narto Budhi-81j)


Berita Utama | Semarang | Sala | Jawa Tengah | Olahraga | Internasional
Budaya | Wacana | Ekonomi | Fokus | English | Cybernews | Berita Kemarin
Copyright© 1996 SUARA MERDEKA