Lompat ke isi

Leang Timpuseng

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Leang Timpuseng
Gua Timpuseng
Leang Timpuseng
Leang Timpuseng
Leang Timpuseng
Lokasi di Sulawesi
LokasiLingkungan Tompobalang, Kelurahan Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Indonesia
Koordinat4°59′55″S 119°39′39″E / 4.998525723883471°S 119.66079273945655°E / -4.998525723883471; 119.66079273945655[1]
Rentang tinggi25 mdpl
Geologikarst / batu kapur / batu gamping
Situs webvisit.maroskab.go.id
cagarbudaya.kemdikbud.go.id
kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpcbsulsel/
Wisata Gua Prasejarah
Leang Timpuseng
Informasi
Lokasi Lingkungan Tompobalang, Kelurahan Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan
Negara  Indonesia
Pemilik
Pembukaan Setiap hari pukul 08.00–16.00 WITA
Jenis objek wisata Edukasi arkeologi dan gua prasejarah
Situs web visit.maroskab.go.id
Situs Cagar Budaya Leang Timpuseng
Nama sebagaimana tercantum dalam
Sistem Registrasi Nasional Cagar Budaya
Lukisan gua bergambar telapak tangan di Leang Timpuseng
Cagar budaya Indonesia
PeringkatNasional
KategoriSitus
No. RegnasCB.1563
Lokasi
keberadaan
Lingkungan Tompobalang, Kelurahan Kalabbirang, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan
No. SKSK Menteri Dikbud RI No. SK:307/M/2018[2]
Tanggal SK10 Januari 2018 (SK Bupati Maros)[3]
6 November 2018 (SK Menteri)
Pemilik Indonesia
PengelolaMuseum dan Cagar Budaya

Leang Timpuseng atau Gua Timpuseng merupakan salah satu dari puluhan gua yang terdapat di perbukitan karst Maros. Terletak sekitar 400 meter dari jalan poros Bantimurung-Leangleang, gua atau Leang (sebutan lokal) ini cukup mudah dijangkau dengan berjalan kaki melalui lahan persawahan. Lokasinya juga mudah ditemukan karena tampak jelas dari jalan poros.

Leang Timpuseng memiliki ruang yang memanjang dengan lorong-lorong kecil di dalamnya. Di depan ruangan terdapat teras sempit yang menghadap pada lahan persawahan. Lantai gua hampir rata dan hanya lebih tinggi ± 0 50 cm dari lahan persawahan di depannya. Lantai gua memanjang 30 m dengan lebar bervariasi antara 2 m hingga 7 m. Di dalam gua terdapat cekungan yang menjadi sumber air, oleh penduduk setempat dimanfaatkan untuk mengairi sawah atau dipompakan untuk memenuhi kebutuhan air untuk peternakan unggas.

Sejumlah tinggalan arkeologi yang masih dapat ditemukan pada leang ini antara lain sebaran cangkang-cangkang kerang dan artefak litik di permukaan lantai gua, dan lukisan yang sangat kaya pada langit-langit gua. Setidaknya terdiri dari lima panil dengan 84 objek yang sebagian besar berupa gambar cap tangan, sementara lainnya berupa hewan babirusa, geomtris, dan gambar-gambar yang belum teridentifikasi.

Leang Timpuseng pertama kali ditemukan oleh masyarakat pada tahun 1989 dan dilaporkan kepada Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara serta pada tahun 1992 dilakukan pendataan. Pada tahun 2004 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian di gua ini dengan hasil data distribusi gua dan lukisan yang ada di Kawasan Maros-Pangkep. Penelitian kemudian dilanjutkan pada tahun 2012-2013 bekerjasama dengan Universitas Wollongong, Australia. Selain melakukan ekskavasi di Gua Leang Bulu Bettue dengan data pertanggalan hunian yang mencapai ratusan ribu tahun, tim juga meneliti dan mempertanggal lukisan cadas di tujuh gua.

Hasil pertanggalan di salah satu gua, yaitu Leang Timpuseng sangat menakjubkan. Dua lukisan yang dipertanggal dengan metode Uranium Series ternyata berumur sangat tua. Lukisan pertama merupakan cap tangan tertua di dunia, dengan umur minimum 39.900 tahun yang lalu, sedangkan babi rusa berumur minimum 35.400 tahun yang lalu. Inilah lukisan cadas tertua di dunia setelah lukisan di Gua El Castillo di wilayah Cantabria, Spanyol Utara yang berumur sekitar 40,8 tahun lalu. Penerbitannya di majalah sientifik "Nature" yang sangat bergengsi menjadikan Leang Timpuseng menjadi perbincangan para ahli di lingkup internasional. Leang Timpuseng pun menjadi salah satu situs terpenting yang mengubah pandangan dunia tentang sejarah asal usul dan perkembangan lukisan gua.

Riwayat Penanganan:

Delineasi dan zonasi terhadap gua ini telah dilakukan sejak tahun 2007 dan 2011. Keterlibatan Pemerintah Kabupaten Maros dalam pelestarian antara lain melakukan perbaikan terhadap pagar yang rusak, melengkapi gua ini dengan gazebo, memberi papan informasi dan fasilitas pengamanan, membangun jalan setapak untuk memudahkan pengunjung mencapai Leang Timpuseng.

Saat ini, situs berada di bawah pengelolaan Museum dan Cagar Budaya, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.

Awal penemuan

[sunting | sunting sumber]

Leang Timpuseng pertama kali ditemukan oleh masyarakat pada tahun 1989 dan dilaporkan kepada Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara serta pada tahun 1992 dilakukan pendataan. Pada tahun 2004 Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melakukan penelitian di gua ini dengan hasil data distribusi gua dan lukisan yang ada di Kawasan Karst Maros-Pangkep. Penelitian kemudian dilanjutkan pada tahun 2012-2013 bekerjasama dengan Universitas Wollongong, Australia. Selain melakukan ekskavasi di Leang Bulu Bettue dengan data pertanggalan hunian yang mencapai ratusan ribu tahun, tim juga meneliti dan mempertanggal lukisan cadas di tujuh gua. Hasil pertanggalan di salah satu gua, yaitu Leang Timpuseng sangat menakjubkan. Dua lukisan yang dipertanggal dengan metode pertanggalan uranium series ternyata berumur sangat tua. Lukisan pertama merupakan cap tangan tertua di dunia, dengan umur minimum 39.900 tahun yang lalu, sedangkan babirusa berumur minimum 35.400 tahun yang lalu. Inilah lukisan cadas tertua di dunia setelah lukisan di Gua El Castillo di wilayah Cantabria, Spanyol Utara yang berumur sekitar 40,8 tahun lalu. Penerbitannya di majalah sientifik “Nature” yang sangat bergengsi menjadikan Leang Timpuseng menjadi perbincangan para ahli di lingkup internasional. Leang Timpuseng pun menjadi salah satu situs terpenting yang mengubah pandangan dunia tentang sejarah asal usul dan perkembangan lukisan gua.[2][4]

Etimologi

[sunting | sunting sumber]

Nama "Leang Timpuseng" berasal dari Bahasa Bugis, yaitu leang bermakna "gua" dan timpuséng berarti "mata air yang tak pernah kering". Jadi gua ini dibahasakan sebagai gua yang berisikan mata air yang tak pernah kering.[5]

Leang Timpuseng memiliki panjang 50 meter, dengan pagar berfondasi beton setinggi 130 cm. Gua ini memiliki ruang yang memanjang dengan lorong-lorong kecil di dalamnya. Di depan ruangan terdapat teras sempit yang menghadap pada lahan persawahan. Lantai gua hampir rata dan hanya lebih tinggi ± 0–50 cm dari lahan persawahan di depannya. Lantai gua memanjang 30 m dengan lebar bervariasi antara 2 m hingga 7 m. Di dalam gua terdapat cekungan yang menjadi sumber air, oleh penduduk setempat dimanfaatkan untuk mengairi sawah atau dipompakan untuk memenuhi kebutuhan air untuk peternakan unggas. Sejumlah tinggalan arkeologi yang masih dapat ditemukan pada leang ini antara lain sebaran cangkang-cangkang kerang dan artefak litik di permukaan lantai gua, dan lukisan yang sangat kaya pada langit-langit gua. Setidaknya terdiri dari lima panil dengan 84 objek yang sebagian besar berupa gambar cap tangan, sementara lainnya berupa hewan babirusa, geometris, dan gambar-gambar yang belum teridentifikasi.[2]

Situs Leang Timpuseng ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Maros pada 10 Januari 2018. Penetapan situs menjadi cagar budaya berdasarkan SK Bupati Maros. Hal ini juga sudah berdasarkan perintah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Sebelumnya, terlebih dahulu telah dilakukan pengkajian kelayakan oleh Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Maros. Setelah penetapan tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Maros telah memiliki dasar hukum untuk mengelola, melestarikan, pengembangan, dan pemanfaatan cagar budaya. Setelah itu, Pemerintah Daerah Kabupaten Maros mengusulkan Leang Timpuseng masuk ke situs cagar budaya peringkat nasional dengan alasan bahwa di Leang Timpuseng terdapat lukisan babirusa yang dibuat sekitar 35.400 tahun silam. Berdasarkan penelitian TACB Kabupaten Maros, lukisan di Leang Timpuseng merupakan peninggalan manusia tertua di dunia.[3]

Pada 2018, mantan Mendikbud Muhadjir Effendy menyebut kawasan ini terancam oleh tambang semen di sekitar situs dan akan dicalonkan sebagai cagar dunia kepada UNESCO bersama dengan Karst Sangkulirang-Mangkalihat di Kalimantan Timur.[6] Namun begitu, menurut kunjungan surat kabar Kompas tahun 2014, ia masihlah satu gua yang terbuka. Pada kunjungan kedua pada tahun 2018, ia telah dipagari dan dijaga petugas dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulsel.[7]

Potensi gambar

[sunting | sunting sumber]

Penggambaran binatang babi di Leang Timpuseng dalam seni cadas kawasan Karst Maros-Pangkep memiliki pertanggalan ± 35.400 tahun yang lalu. Gambar babi itu berkonteks dengan gambar tangan yang memiliki pertanggalan ± 39.000 tahun yang lalu (kini gambar tangan pada seni cadas yang tertua di dunia). Hasil pertanggalan itu mendekatkan aspek waktu gambar binatang pada seni cadas di Sulawesi Selatan dengan seni cadas arkaik Palaeolitik Atas Eropa dengan gambar singa dari Great Panel, Gua Chauvet-Pont-D’Arc (Prancis) yang memiliki pertanggalan ± 36.000 tahun yang lalu. Pertanggalan terbaru gambar babi di Leang Timpuseng menunjukkan usia arkaik yang relatif sezaman dengan seni cadas Palaeolitik Atas Eropa. Keadaan itu disertai banyaknya gambar binatang (26%) yang ditemukan di 23 dari 88 gua di kawasan seni cadas Maros-Pangkep menimbulkan semangat untuk melakukan penerapan teori dan metode konteks budaya gambar binatang dalam seni cadas menurut Sauvet et al. (2009) pada seni cadas di kawasan itu.[8][9]

Aksesibilitas

[sunting | sunting sumber]

Leang Timpuseng terletak sekitar 400 meter dari Jalan Poros Bantimurung-Leang-Leang, gua ini cukup mudah dijangkau dengan berjalan kaki melalui lahan persawahan. Lokasinya juga mudah ditemukan karena tampak jelas dari jalan poros.[2]

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama :56
  2. ^ a b c d Siregnas CB Kemdikbud RI (10 Januari 2018). "Leang Timpuseng". cagarbudaya.kemdikbud.go.id. Diarsipkan dari asli tanggal 2021-04-25. Diakses tanggal 24 April 2021.
  3. ^ a b Ansar (10 Januari 2018). "Enam Situs Purbakala Maros Ditetapkan sebagai Cagar Budaya". Tribunnews.com. Diakses tanggal 24 April 2021.
  4. ^ Aubert, M.; dkk (2014). "Pleistocene cave art from Sulawesi, Indonesia (Journal of Nature:514)". hlm. 223-227.
  5. ^ Administrator (12 Januari 2015). "Nenek Moyangku orang Seniman". Tempo.co. Diakses tanggal 25 Desember 2019.
  6. ^ "Gua dengan Lukisan Batu Tua di Sulawesi Terancam Penambangan". CNN Indonesia. 8 November 2018. Diakses tanggal 25 Desember 2019.
  7. ^ Ayu, Reny Sri; Daeng, Mohammad Final. "Tapak-tapak Manusia Awal Sulawesi". Kompas.id. Diakses tanggal 25 Desember 2019. Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)
  8. ^ Pasaribu, Yosua Adrian (2016). "Konteks Budaya Gambar Binatang Pada Seni Cadas Di Sulawesi Selatan (Paradigma Jurnal Kajian Budaya Vol. 6 No. 1)". download.garuda.ristekdikti.go.id. hlm. 1-27. Diarsipkan dari asli tanggal 2021-05-04. Diakses tanggal 4 Mei 2021.
  9. ^ Sutcliffe, Theodora (23 Mei 2016). "In South Sulawesi, Indonesia, find some of the world's oldest cave art". edition.cnn.com. Diakses tanggal 18 Mei 2021.

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]