Jika Engkau ada,
maka mengapa aku meragukan-Mu?
Bukan karena aku membenci-Mu.
Bukan karena aku membelakangi cahaya-Mu.
Tapi karena aku haus akan kebenaran yang telanjang.
Tanpa simbol,
tanpa basa-basi,
tanpa perantara yang hanya membungkus dengan kata manis.
Apakah aku terlalu jauh dari-Mu, Tuhan?
Ataukah aku hanya makhluk yang terasing,
bahkan dari sesama manusia?
Aku bukan ingin memberontak,
aku hanya ingin tahu.
Tahu dengan sungguh-sungguh,
hingga tak tersisa ruang untuk pura-pura percaya.
Aku telah membaca.
Telah merenung.
Telah mendengar segala nama-Mu disebut.
Namun hatiku tetap menggantung.
Jiwaku tetap dingin.
Tuhan, jika Engkau benar ada,
maka tunjukkan keajaiban-Mu.
Aku tahu permintaanku terdengar lancang,
mungkin bahkan memaksa.
Tapi beginilah bentuk doaku—
bukan untuk kenyamanan,
tapi untuk kebenaran yang menampar.
Aku tak tahu harus ke mana lagi,
selain kepada-Mu.
Jika aku meragukan keberadaan-Mu,
kepada siapa lagi aku bisa mengadu tentang keraguan ini?
Maafkan aku, Tuhan…
jika kata-kataku menggores nama-Mu.
Tapi lebih baik aku jujur dalam kesesatan,
daripada berpura-pura dalam keimanan yang palsu.
Aku tersesat.
Aku kesepian.
Tapi aku belum mati.
Dan dalam kesunyian ini—
aku tetap memanggil nama-Mu.
Meskipun dengan suara patah,
dan napas yang hampir habis.